Cara ngudang dan efeknya pada Anak

Ngudang itu, mungkin padanan kata dalam bahasa Indonesia-nya adalah aksi menimang anak.

Saya biasa melihat ibu-ibu di sekitar saya melakukan itu pada bayi-bayi mereka. Ada yang membuat bunyi-bunyi aneh seperti “nang ning ning nang ning nung” sampai yang suara brutal seperti… Duh, saking brutalnya sampai sulit dituliskan. Yang jelas ada banyak variasi, yang biasanya selalu tanpa arti. Tanpa makna. Setidaknya di telinga saya seperti itu, hanya kumpulan nada aneh.

Semuanya itu tampak wajar saja sampai serangkaian kebetulan membuat saya terpaksa memperhatikan tiga manusia menarik. Manusia pertama adalah seorang calon janda muda yang super sibuk. Yang kedua adalah bayi perempuan si Ibu, lucu tapi sering dititipkan kemana-mana. Dan terakhir adalah seorang mantan supir taksi yang aneh, supir kok tidak merokok dan maniak pingpong.

Suatu hari, tak lama setelah si ibu mampir menitipkan bayi dan langsung menghilang lagi entah kemana, muncul pak mantan supir, berkoar cari musuh untuk diajak main pingpong. Karena para pemalas masih terlalu sibuk bersantai, akhirnya pak supir akrab dengan si bayi terlantar. Tak sampai beberapa menit, si bapak mulai mengeluarkan suara-suara aneh. Saya pikir itu akan seperti biasa, seperti yang dilakukan orang lain.

Ternyata sangat tidak sama.

Yang dia nyanyikan itu seperti mantra berbahasa jawa, semacam gending berisi nasehat. Merdu dan khusuk sekali. Si bayi juga kelihatannya takjub, memperhatikan dengan sorot mata tajam seperti bertanya-tanya, “mahluk apa ini aneh sekali”, haha. Tapi lagu itu memang aneh. Sepertinya punya efek misterius, seisi rumah jadi terasa “beda”. Ya mungkin saja karena saya baru bangun jadi kepala masih cukup hening dan reseptif. Sayang saya tidak mengerti hampir semuanya :p

Beberapa hari setelahnya saya sempat tanya-tanya ke orang sekitar. Ternyata kebiasaan “ngudang” seperti itu sudah banyak ditinggalkan orang. Dulu masih banyak orang tua menyanyikan berbagai nasihat dan cerita untuk bayi-bayi mereka. Mungkin generasi orang tua saya adalah yang terakhir menerima, tapi entah kenapa tidak lagi meneruskannya pada anak-anak mereka.

Dari situ saya mulai ngeh, ternyata ada cara lain yang lebih beradab dalam memperlakukan bayi.

Sayangnya, banyak orang tua sekarang (yang saya lihat) cuma ngudang dengan nada-nada aneh tanpa makna. Atau ngajak ngomong dengan cara tolol, dimana orang tua berbicara seperti idiot yang pura-pura tidak bisa mengucap dengan baik. Atau menjelek-jelekkan si bayi dengan berbagai afirmasi keji. Itupun kalau si orang tua sempat, karena kebanyakan orang tua selalu sibuk mengais uang yang tidak akan pernah cukup. Semiskin atau sekaya apapun, semuanya selalu sibuk. Bayinya dititipkan untuk diiumbar didepan TV, disuruh melongo nonton Naruto, diajak menyimak Sinetron dan Gosip, atau distelkan handphone yang memutar MP3 cengeng.

Gila kan? Bayi manusia itu, konon, mempunyai reseptifitas luar biasa. Informasi apa saja akan diserap tanpa memilah baik buruk. Jika informasi yang sama diterima berulang-ulang, mungkin saja akan jadi program yang berjalan otomatis untuk seumur hidupnya. Iya kalau programnya bagus, lha kalau programnya cuma sekelas infotainment yang menjual iklan-iklan penyeru komersialisme? Untung saya nggak punya bayi.

Gimana dengan nasib bayi manusia di sekitar anda?

Trus?

Tag:, , ,

8 responses to “Cara ngudang dan efeknya pada Anak”

  1. Bitch, The says :

    nyokap gwa… ga tau. lupa dia ngudang gwa gimana. tapi kalo ngeliat adek gwa, sepertinya dia nyanyi. gwa ga punya bayi, tapi kalo maen ama bayi biasanya gwa bilang ‘kalo gede jadi aktivis ya, dek. jangan buang sampah sembarangan, nanem ijo2an, jangan kuatir buat bandel. bandel itu menyenangkan lho, dek’
    … dan gwa sukses diomelin emaknya. haha!

    ps. gwa kira elu udah nyerah =P

    • Guh says :

      emaknya paling cuma keberatan bagian bandel.
      klo gw ga posting itu pasti bukan karena nyerah, tapi karena force majeur.

  2. Bu2 says :

    Kenapa penilaian buat tulisan udah gak ada lagi?
    soalnya kadang saya gak mau nulis komentar, tapi pengen ngasih rating ke tulisannya..

    • Guh says :

      Sengaja, biar pembaca yang ingin bersuara juga terpaksa belajar nulis komen. Siapa tahu suatu hari nanti jadi tergerak belajar bikin email dan bikin blog juga.

  3. Bitch, The says :

    Ndak juga si, guh. bukan bagian bandel yg mereka ga setuju. tapi masalah jadi aktipis dan ketakutan emak2 itu kalo nanti anak mereka kek gwa, susah dibilangin.
    gwa bingung. kenapa ya ortu selalu ngerasa anak adalah properti dan ngegedein anak adalah investasi?

    • Guh says :

      Kalo Bu Pit sudah menghabiskan sekian puluh juta, plus sekian ribu jam, plus sekian puluh sandal yang rusak demi membesarkan seekor asu, mungkin akan tumbuh rasa “memiliki”. Kalo asu diganti anak manusia? Mungkin rasa memiliki akan tumbuh lebih subur. Apalagi kalo ngerawatnya dari sejak sperma. Wong pacaran berapa bulan aja rasa memilikinya udah kebangetan.

      Soal investasi, yang namanya udah nanem kan wajar kalau pengen ikut ngerasain buahnya. Yang jelas potensi ROI anak manusia itu lebih gede dari investasi di seekor asu.

  4. Bitch, The says :

    Seriously. do you realy have to mention ROI? *keplak*

  5. Oka says :

    Dengerin murotal.

    Bapaknya yg bacain

    Selesai dah

    Doakan agar lebih baik

    Selesai dah

    Kerja buat yang merasa miskin dan merasa kaya
    Sama sama butuh uang.

    Pakai kartu pra kerja aja. Selesai dah urusan uang

    Punya anak Alhamdulillah, gak punya ya bersyukur. Jodoh belum ketemu. (Sperma belum berjodoh dengan ovum).

    Berusaha terus Insha Allab jadi. Beres dah masalah pu ya anak

    Belum punya jodoh, gampang pakai cara taaruf sampai cara jaman kolot (pacaran) juga bisa. Pacaran tinggal beban dosa. Gampang kan.

    Nanti dapat jodoh sendiri, baru punya anak.

    Ngudang bayi, caranya sama, sama sama butuh kesabaran dan perjuangan.
    Sampai zaman postmodernnpun cara ngudang akan sama, tidak ada bedanya dengan zaman nenek moyang buyut di zaman mereka melaut

Tinggalkan komentar