Tag Archive | HIV

SMS KEMENKES terkait sunat dan HIV

image

Sudah malam masih menjawab pertanyaan… Mungkin lembur ya?

Itu screen capture adalah jawaban dari pertanyaan yang saya kirim kemarin. Setelah membaca berita tentang rencana mewajibkan lelaki papua untuk dikhitan/disunat demi mencegah HIV/AIDS.

Posted from WordPress for Android

Diskriminasi HIV Don Bosco dari berbagai sudut

Immi batal sekolah di Don Bosco karena Ayahnya mengidap AIDS/HIV positif.

Dilihat dari pihak keluarga Immi, ini jelas diskriminasi. Yang HIV positif kan hanya Ayah, kenapa Immi yang sehat dan bebas HIV tidak boleh sekolah di situ?

Ini SMS pemecatan yang diberitakan Detik:

Yth Bpk/Ibu orangtua Zipporah Imogen Divine. Setelah rapat dengan Team dan Koord Penerimaan Siswa Baru yayasan kami dengan berat hati memutuskan bahwa kami membatalkan keputusan menerima Imi sebagai calon siswa SDDon Bosco 1 Kelapa Gading. Hal ini disebabkan beberapa calon orangtua siswa lain menolak keberadaan Imi. Mohon maaf dan pengertiannya. Hartanto SD DB 1.

Immi sudah diterima sebagai siswa, sudah siap-siap jadi murid di sekolah yang sepertinya keren. Tapi karena ada beberapa calon orang tua siswa lain menolak, dia pun batal diterima di sekolah impian.

Sebagai orang empatik, saya jelas prihatin…

Tapi saya juga lumayan rasional, karena itu saya juga mencoba melihat (dan menduga-duga) bagaimana jika kasus ini dilihat dari sudut-sudut yang lain.

Pertama, mencoba memahami pikiran orang tua murid yang menolak Immi.

Mungkinkah mereka khawatir anaknya ketularan HIV? Kira-kira apa sih pembenaran penolakan itu?

Kemungkinannya kecil sekali jika anak usia SD bakal ngeseks sembarangan dengan sesamanya. Kemungkinan yang lebih besar mungkin justru dari resiko si anak jadi korban pelecehan seksual bertema agama. Tapi kasus macam itu pelakunya pasti orang yang lebih tua dan lebih ngerti agama, bukan anak seumuran.

Oke, kemungkinan tertular lewat aktivitas seks memang kecil. Tapi kan HIV juga menular melalui kontak darah!! Siapa tahu suatu hari ada wabah zombie, lalu Ayah yang sudah jadi zombie menggigit Immi, lalu Immi yang kemudian berubah jadi zombie tetap berangkat sekolah dan menggigit semua guru dan teman-temannya… Darah-darah berceceran dan muncrat kemana-mana… Tuh, bisa ketularan HIV juga kan?

Aih… Alasan gila nan paranoid itu tentu saja bikinan saya  sendiri. Tapi ketakutan memang bisa dimengerti kok.

Namanya orang tua pasti selalu khawatir dengan keselamatan anak-anaknya. Pasti ingin melindungi anaknya dari segala ancaman, mulai dari penyakit hingga api neraka. Bahkan kalau perlu akan melakukan kekerasan dan mengorbankan pihak lain, sebagaimana yang beberapa orang tua lakukan terhadap Immi. Kalau ketakutan sudah terlalu pekat, pasti sulit bikin keputusan menggunakan akal sehat.

Kedua, sekarang lihat coba dari sudut pandang bisnis.

Andaikan saya pedagang yang punya pelanggan cuma sekian ratus. Lalu sebagian konsumen bersepakat untuk memaksa saya berhenti menjual pada seseorang, sebutlah namanya X. Menurut Anda, apa pilihan saya?

Jika saya membela hak X, sekelompok konsumen pemaksa tadi mungkin akan berhenti jadi pelanggan saya dan beralih ke pedagang lain. Lebih parah, mungkin menyebarkan kebenciannya dan memprovokasi konsumen lain untuk beramai-ramai meninggalkan dagangan saya. Bisnis saya terganggu. Dapur saya terganggu. Kelangsungan hidup saya terancam.

Demi kelestarian hidup saya, pasti saya cenderung untuk patuh. Daripada bisnis terancam lebih baik mengorbankan si X.

Segitu tanpa sedikitpun membahas alasan ketidaksukaan pada X lho!

Dan mungkin memang tak perlu alasan. Karena alasan se-rasional atau se-absurd apapun, ancaman yang ditimbulkan terhadap kelangsungan bisnis saya sudah sangat jelas. Dan itu akan jadi pertimbangan utama saya dalam membuat keputusan.

Wajar sih. Lembaga apapun dimanapun, pasti cenderung bikin keputusan yang berpihak pada kelestarian diri. Lembaga agama, sampai negara sekalipun selalu berusaha menjaga kelestarian dirinya. Dengan segala cara.

Mungkin saja pihak yayasan juga merasa seperti itu. Mungkin tak ada gunanya menjelaskan bahwa Immi sehat dan kecil sekali kemungkinannya bakal menularkan HIV pada anak lain. Mungkin malah sudah berusaha menjelaskan, tapi apa daya, orang tua siswa lain sudah terlanjur dikuasai ketakutan hingga tidak mampu lagi menerima penjelasan rasional. Akhirnya mengorbankan Immi jadi satu-satunya pilihan demi keselamatan sebanyak mungkin pihak.

Ketiga dan terakhir deh, sudah mulai terlalu panjang nih.

Ini bagian yang paling saya suka. Dari sudut pandang saya sendiri. Setelah sok adil dan merasa sudah melihat dari beberapa sisi lain, sekarang waktunya bikin opini subyektif yang penuh penghakiman…

Menurut saya Immi sekeluarga tak perlu terlalu kecewa. Toh sekolah yang menolak Immi sepertinya tidak bagus-bagus amat. Paling tidak menurut penilaian saya begitu.

Bisa dicek di situs resminya. Halaman kurikulum agama jauh lebih diperhatikan daripada kurikulum ilmu pengetahuan yang lain. Halaman agama diisi penuh penjelasan, sedangkan halaman ilmu pengetahuan lain, terutama IPA dibiarkan kosong. Jika situs tersebut memang mewakili sekolah, sepertinya terlalu berat pada pelajaran agama. Setidaknya hingga jam 13 WIB, 2 Desember 2011 masih terlihat seperti itu.

Tentu tidak adil menilai sebuah sekolah hanya dari situs resminya. Tapi tetap saja, pengunjung kurang berpendidikan macam saya bakal tergoda bertanya, bagaimana sikap lulusan SD tersebut terhadap sains? Bagaimana pula opininya terhadap teori evolusi? Hehe.

Sedikit soal agama dan anak-anak. Setahu saya sih, doktrinasi agama tidak baik jika dilakukan terhadap anak-anak di bawah umur. Penggunaan terror dan ketakutan untuk menguasai dan mengendalikan manusia itu klasik banget, sudah saatnya mulai kita tinggalkan… Kecuali kalau tujuan kita memang ingin membonsai dan memperbudak.

Sudah lah, kembali pada masalah Immi.

Soal Ayah akan menuntut, atau berbagai pemberitaan atau pemelintiran oleh media, atau DPR yang semoga serius dengan sikapnya, biarlah semuanya bergulir. Yang penting jangan lupa untuk segera cari sekolah pengganti.

Buat Immi, kalau bisa cari sekolah tuh yang siswa-siswanya punya orang tua keren, berpikiran terbuka dan tidak diperbudak oleh ketakutan.

Awas lho, anak-anak biasanya cederung mengikuti apapun contoh orang tuanya. Kalau orang tuanya pada baik, empatik, rasional dan apresiatif, mungkin sekali teman-teman kamu juga sifatnya baik hati, sekalipun bukan dari kalangan berduit. Sebaliknya, jika orang tuanya fanatik, kejam, tega atau sakit jiwa seperti dalam sinetron…? Hiiy, seraaam. Biar kaya raya, halus mulus seputih keramik tetep aja amit-amit, alamat buruk buat kesehatan jiwa dan pikiran. Jangan sampai terjebak dalam pergaulan dengan anak-anak seperti itu.

Ups… Barusan itu juga sebuah penghakiman tidak fair terhadap anak berdasarkan sifat orang tua lho… hehe. Sebenarnya hampir sama saja kok. Sebagaimana orang tua HIV belum tentu anaknya HIV,  maka orang tua bersifat jahat, belum pasti juga anaknya bakal mewarisi semua sifat jahatnya. Atau contoh lain: Emaknya matre tukang kawin cere temi harte, belum tentu putrinya yang jelita tumbuh jadi seorang matre yang gampang ganti cowo demi harte… *sumpah ini bukan curcol*. Tapi ya tetep sih, soal prilaku, pandangan hidup, religiusitas, yang namanya anak biasanya mengikuti contoh orang tua. Biasanya lho.

Yang penting jangan terlalu mudah menghakimi dan menggeneralisir, karena bisa saja saat kita dalam kondisi dan latar belakang yang sama, kita akan membuat keputusan yang sama persis dengan orang-orang yang saat ini keputusannya kita benci.

Ok deh. Untuk Immi dan semua Anak Manusia, juga semua Orang Tua, saya ucapkan selamat mencari dan mengusahakan lingkungan yang sehat untuk belajar.

– – –

Oh, gambar diambil tanpa ijin dari swishypunkgirl.

Update, link penting:

  • Twitter Ayah Immi: @fajarjasmin
  • Penjelasan beberapa mitos menakutkan soal HIV
  • Sekolah yang dimaksud: SD Don Bosco I
  • Masalah akhirnya selesai dengan baik, Pihak DB mengakui kesalahpahaman kemarin disebabkan pihak DB kurang memahami soal HIV. Setelah akhirnya mengerti, Immi pun bisa bersekolah di situ. Don Bosco bahkan berencana mengadakan seminar HIV untuk meningkatkan kesadaran para guru dan orang tua. Baguslah, ternyata label Don Bosco itu bukan cuma asal tempel :)