Diskriminasi HIV Don Bosco dari berbagai sudut

Immi batal sekolah di Don Bosco karena Ayahnya mengidap AIDS/HIV positif.

Dilihat dari pihak keluarga Immi, ini jelas diskriminasi. Yang HIV positif kan hanya Ayah, kenapa Immi yang sehat dan bebas HIV tidak boleh sekolah di situ?

Ini SMS pemecatan yang diberitakan Detik:

Yth Bpk/Ibu orangtua Zipporah Imogen Divine. Setelah rapat dengan Team dan Koord Penerimaan Siswa Baru yayasan kami dengan berat hati memutuskan bahwa kami membatalkan keputusan menerima Imi sebagai calon siswa SDDon Bosco 1 Kelapa Gading. Hal ini disebabkan beberapa calon orangtua siswa lain menolak keberadaan Imi. Mohon maaf dan pengertiannya. Hartanto SD DB 1.

Immi sudah diterima sebagai siswa, sudah siap-siap jadi murid di sekolah yang sepertinya keren. Tapi karena ada beberapa calon orang tua siswa lain menolak, dia pun batal diterima di sekolah impian.

Sebagai orang empatik, saya jelas prihatin…

Tapi saya juga lumayan rasional, karena itu saya juga mencoba melihat (dan menduga-duga) bagaimana jika kasus ini dilihat dari sudut-sudut yang lain.

Pertama, mencoba memahami pikiran orang tua murid yang menolak Immi.

Mungkinkah mereka khawatir anaknya ketularan HIV? Kira-kira apa sih pembenaran penolakan itu?

Kemungkinannya kecil sekali jika anak usia SD bakal ngeseks sembarangan dengan sesamanya. Kemungkinan yang lebih besar mungkin justru dari resiko si anak jadi korban pelecehan seksual bertema agama. Tapi kasus macam itu pelakunya pasti orang yang lebih tua dan lebih ngerti agama, bukan anak seumuran.

Oke, kemungkinan tertular lewat aktivitas seks memang kecil. Tapi kan HIV juga menular melalui kontak darah!! Siapa tahu suatu hari ada wabah zombie, lalu Ayah yang sudah jadi zombie menggigit Immi, lalu Immi yang kemudian berubah jadi zombie tetap berangkat sekolah dan menggigit semua guru dan teman-temannya… Darah-darah berceceran dan muncrat kemana-mana… Tuh, bisa ketularan HIV juga kan?

Aih… Alasan gila nan paranoid itu tentu saja bikinan saya  sendiri. Tapi ketakutan memang bisa dimengerti kok.

Namanya orang tua pasti selalu khawatir dengan keselamatan anak-anaknya. Pasti ingin melindungi anaknya dari segala ancaman, mulai dari penyakit hingga api neraka. Bahkan kalau perlu akan melakukan kekerasan dan mengorbankan pihak lain, sebagaimana yang beberapa orang tua lakukan terhadap Immi. Kalau ketakutan sudah terlalu pekat, pasti sulit bikin keputusan menggunakan akal sehat.

Kedua, sekarang lihat coba dari sudut pandang bisnis.

Andaikan saya pedagang yang punya pelanggan cuma sekian ratus. Lalu sebagian konsumen bersepakat untuk memaksa saya berhenti menjual pada seseorang, sebutlah namanya X. Menurut Anda, apa pilihan saya?

Jika saya membela hak X, sekelompok konsumen pemaksa tadi mungkin akan berhenti jadi pelanggan saya dan beralih ke pedagang lain. Lebih parah, mungkin menyebarkan kebenciannya dan memprovokasi konsumen lain untuk beramai-ramai meninggalkan dagangan saya. Bisnis saya terganggu. Dapur saya terganggu. Kelangsungan hidup saya terancam.

Demi kelestarian hidup saya, pasti saya cenderung untuk patuh. Daripada bisnis terancam lebih baik mengorbankan si X.

Segitu tanpa sedikitpun membahas alasan ketidaksukaan pada X lho!

Dan mungkin memang tak perlu alasan. Karena alasan se-rasional atau se-absurd apapun, ancaman yang ditimbulkan terhadap kelangsungan bisnis saya sudah sangat jelas. Dan itu akan jadi pertimbangan utama saya dalam membuat keputusan.

Wajar sih. Lembaga apapun dimanapun, pasti cenderung bikin keputusan yang berpihak pada kelestarian diri. Lembaga agama, sampai negara sekalipun selalu berusaha menjaga kelestarian dirinya. Dengan segala cara.

Mungkin saja pihak yayasan juga merasa seperti itu. Mungkin tak ada gunanya menjelaskan bahwa Immi sehat dan kecil sekali kemungkinannya bakal menularkan HIV pada anak lain. Mungkin malah sudah berusaha menjelaskan, tapi apa daya, orang tua siswa lain sudah terlanjur dikuasai ketakutan hingga tidak mampu lagi menerima penjelasan rasional. Akhirnya mengorbankan Immi jadi satu-satunya pilihan demi keselamatan sebanyak mungkin pihak.

Ketiga dan terakhir deh, sudah mulai terlalu panjang nih.

Ini bagian yang paling saya suka. Dari sudut pandang saya sendiri. Setelah sok adil dan merasa sudah melihat dari beberapa sisi lain, sekarang waktunya bikin opini subyektif yang penuh penghakiman…

Menurut saya Immi sekeluarga tak perlu terlalu kecewa. Toh sekolah yang menolak Immi sepertinya tidak bagus-bagus amat. Paling tidak menurut penilaian saya begitu.

Bisa dicek di situs resminya. Halaman kurikulum agama jauh lebih diperhatikan daripada kurikulum ilmu pengetahuan yang lain. Halaman agama diisi penuh penjelasan, sedangkan halaman ilmu pengetahuan lain, terutama IPA dibiarkan kosong. Jika situs tersebut memang mewakili sekolah, sepertinya terlalu berat pada pelajaran agama. Setidaknya hingga jam 13 WIB, 2 Desember 2011 masih terlihat seperti itu.

Tentu tidak adil menilai sebuah sekolah hanya dari situs resminya. Tapi tetap saja, pengunjung kurang berpendidikan macam saya bakal tergoda bertanya, bagaimana sikap lulusan SD tersebut terhadap sains? Bagaimana pula opininya terhadap teori evolusi? Hehe.

Sedikit soal agama dan anak-anak. Setahu saya sih, doktrinasi agama tidak baik jika dilakukan terhadap anak-anak di bawah umur. Penggunaan terror dan ketakutan untuk menguasai dan mengendalikan manusia itu klasik banget, sudah saatnya mulai kita tinggalkan… Kecuali kalau tujuan kita memang ingin membonsai dan memperbudak.

Sudah lah, kembali pada masalah Immi.

Soal Ayah akan menuntut, atau berbagai pemberitaan atau pemelintiran oleh media, atau DPR yang semoga serius dengan sikapnya, biarlah semuanya bergulir. Yang penting jangan lupa untuk segera cari sekolah pengganti.

Buat Immi, kalau bisa cari sekolah tuh yang siswa-siswanya punya orang tua keren, berpikiran terbuka dan tidak diperbudak oleh ketakutan.

Awas lho, anak-anak biasanya cederung mengikuti apapun contoh orang tuanya. Kalau orang tuanya pada baik, empatik, rasional dan apresiatif, mungkin sekali teman-teman kamu juga sifatnya baik hati, sekalipun bukan dari kalangan berduit. Sebaliknya, jika orang tuanya fanatik, kejam, tega atau sakit jiwa seperti dalam sinetron…? Hiiy, seraaam. Biar kaya raya, halus mulus seputih keramik tetep aja amit-amit, alamat buruk buat kesehatan jiwa dan pikiran. Jangan sampai terjebak dalam pergaulan dengan anak-anak seperti itu.

Ups… Barusan itu juga sebuah penghakiman tidak fair terhadap anak berdasarkan sifat orang tua lho… hehe. Sebenarnya hampir sama saja kok. Sebagaimana orang tua HIV belum tentu anaknya HIV,  maka orang tua bersifat jahat, belum pasti juga anaknya bakal mewarisi semua sifat jahatnya. Atau contoh lain: Emaknya matre tukang kawin cere temi harte, belum tentu putrinya yang jelita tumbuh jadi seorang matre yang gampang ganti cowo demi harte… *sumpah ini bukan curcol*. Tapi ya tetep sih, soal prilaku, pandangan hidup, religiusitas, yang namanya anak biasanya mengikuti contoh orang tua. Biasanya lho.

Yang penting jangan terlalu mudah menghakimi dan menggeneralisir, karena bisa saja saat kita dalam kondisi dan latar belakang yang sama, kita akan membuat keputusan yang sama persis dengan orang-orang yang saat ini keputusannya kita benci.

Ok deh. Untuk Immi dan semua Anak Manusia, juga semua Orang Tua, saya ucapkan selamat mencari dan mengusahakan lingkungan yang sehat untuk belajar.

– – –

Oh, gambar diambil tanpa ijin dari swishypunkgirl.

Update, link penting:

  • Twitter Ayah Immi: @fajarjasmin
  • Penjelasan beberapa mitos menakutkan soal HIV
  • Sekolah yang dimaksud: SD Don Bosco I
  • Masalah akhirnya selesai dengan baik, Pihak DB mengakui kesalahpahaman kemarin disebabkan pihak DB kurang memahami soal HIV. Setelah akhirnya mengerti, Immi pun bisa bersekolah di situ. Don Bosco bahkan berencana mengadakan seminar HIV untuk meningkatkan kesadaran para guru dan orang tua. Baguslah, ternyata label Don Bosco itu bukan cuma asal tempel :)

Tag:, , , ,

45 responses to “Diskriminasi HIV Don Bosco dari berbagai sudut”

  1. jeff says :

    Don Bosco secara terang-terangan sudah mengajarkan bagaimana melakukan diskriminasi. masih pantaskah sekolah dan yayasan ini dipertahankan?

    • Guh says :

      @Jeff, menurut Anda gimana?

    • blaojet says :

      DB secara yayasan punya hak untuk tidak menerima murid.., kan udah dijelasin karena orang tua murid lain ada yang tidak.. suka sama aja dr pada banyak yang keluar karena 1 orang, mending yang 1 orang tidak diterima masuk..

      tp orang tuanya terlalu lebay akan masalah ini, kalo bisa masukin ke sekolah itu pasti bisa masukin kesekolah lain.. kenapa kekeh banget gitu..

      • tiara says :

        Mas, kalo punya twitter coba dicari timelinenya mas @fajarjasmin dan baca baik2..
        Se-bacaan sy, walaupun pd akhirnya SD DB ini mau nerima Immi, tp kedua ortunya tdk akan menyekolahkan dia disana..
        Karena yg dikejar bukan sekolahnya, tp masalah diskriminasinya..
        Coba bayangin, Immi yang sudah berpikir akan masuk SD DB itu tiba2 harus mengetahui bahwa dia ditolak (padahal sudah diterima) dari SD DB? Dan bagaimana perasaan dia jika tau alasannya?
        Sekiranya itu menurut cara pandang saya..

      • Michelle Anugrah says :

        Mas, coba pikir kalau anak anda yang diperlakukan seperti itu? Bukan nyumpahin, cuma pengen yang yang baik dan pintar bisa membuka mata lebih lebar dan hati lebih lapang.

        Saya pribadi kayaknya malah bersyukur bahwa Don Bosco terbuka topengnya, mengaku sebagai sekolah Katolik tetapi kelakuan seperti sekolah nggak jelas. Immi akan jauh lebih baik bersekolah di tempat lain. Tetapi sekali lagi ini tentang melawan stigma dan diskriminasi. Apa harus kita juga terkena HIV untuk bisa menyadari bahwa memberikan stigma atau melakukan diskriminasi kepada ODHA itu salah?

    • danny says :

      Menurut saya sendiri Don Bosco jg dilema bro..
      Krn kebiasaan orang Indonesia yang menerima kenyataan, ya udah kalau anak saya ditolak di satu sekolah, cari sekolah lain, tapi keadaan yang sekarang kan beda :)
      Dan kalau kita liat pernyataan2 yang dikeluarkan dari sekolah saya rasa kita bisa menilai kalau dari pihak sekolah sendiri belum siap menghadapi keadaan seperti ini :P

  2. Uchu says :

    hentikan diskriminasi…..ganyang orang2 yang tidak memberikan hak2 yang sama terhadap masyarakat.

    • Guh says :

      @Uchu, ehm.. kalau “ganyang” itu maksudnya “disadarkan akan pentingnya akses pendidikan bagi semua”, maka saya setuju :)

  3. fira says :

    Bahkan Wamendiknas (yang biasanya terkenal paling konservatif) sudah membuat pernyataan bahwa HIV tidak bisa ditularkan melalui proses belajar mengajar yang normal/sesuai standard. Enough said. There’s no reason behind the fear thus discrimination.

    • Guh says :

      Ya itu kan kalau “proses belajar mengajar yang normal/sesuai standar”.

      Namanya orang tua mungkin punya pengalaman masa kecil masing-masing. Mungkin dulu pernah diajar oleh guru yang menggunakan cara mengajar yang “tidak sesuai standar.” Pengalaman seperti itu pasti mengkhawatirkan.

  4. shar says :

    sebenernya kalo pun immi tetep masuk ke db, kasian juga.. takutnya di jauhin sama temen2nya. karena orang tua murid kan udah melarang. pasti mereka bakal nyuruh anak masing2 buat jauhin immi :l

  5. Ardi says :

    Kalau menurut saya mungkin hal yang wajar ya,karena:
    1) dari segi penyakit…mungkin tidak penyakit tersebut menular lewat gigitan nyamuk? kalau menurut saya itu sangat mungkin
    2) Apakah kalau Immi dipaksakan sekolah di sana dapat menjamin perkembangan psikis anak tsb, tadi di sebutkan bahwa “disebabkan beberapa calon orangtua siswa lain menolak keberadaan Immi” pastinya orang tua mungkin melarang anaknya untuk bergaul dengan Immi, bukankah kondisinya akan semakin parah?

  6. jeffvernando says :

    Saya setuju dengan anda. DISKRIMINASI terhadap pelajar seharusnya dihapus! Bagaimana dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi ” SETIAP WARGA NEGARA BERHAK MENDAPATKAN PENDIDIKAN “. Seharusnya pemerintah juga memerhatikan masalah tersebut, selain itu pihak sekolah juga seharusnya TIDAK MINTA MAAF melalui PESAN SINGKAT/SMS!!!

  7. Ardi says :

    Jujur saja..Saya sekarang masi sekolah di sekolah tersebut dan saya juga merupakan Alumni SD di sana, wajar saja saya berkomentar, tapi saya rasa, saya cukup objectiv dalam menanggapi kasus ini, dan jika perkataan saya diatas benar, tak dapat disangkal bahwa memang cara penyampaian ke orang tsb salah….jadi menurut saya yang harus di komentari adalah penyampaiannya bukan diskriminasinya…..THX :)

    • Guh says :

      @Ardi, sip, terimakasih untuk kejujurannya :D
      kalau menurut saya ya boleh saja dikomentari semuanya. Toh cuma berkomentar. Seperti di atas itu, saya juga berkomentar kemana-mana, sampai situs web dan kurikulum.

      • Ardi says :

        saya juga akan mengkomentari tulisan anda yg bertulis
        “Tentu tidak adil menilai sebuah sekolah hanya dari situs resminya. Tapi tetap saja, pengunjung kurang berpendidikan macam saya bakal tergoda bertanya, bagaimana sikap lulusan SD tersebut terhadap sains? Bagaimana pula opininya terhadap teori evolusi? Hehe.”
        1)Apakah anda sudah melihat hasil UN IPA sekolah tersebut, apakah ada anak sekolah tersebut tidak lulus karena IPA? selama saya bersekolah di sana saya belum pernah mendengar ada anak yang tidak Lulus karena IPA tersebut, dan Apa teori Evolusi merupakan Kurikulum di SD?? haha.. beropini atau berkomentar memang boleh tapi bukankah haruslah opini atau komentar tersebut harus memiliki dasar, bukan tulisan-tulisan yang dangkal saja.
        2)Salah satu cara menunjukan kompeten atau tidaknya suatu sekolah adalah akreditasi, dan apabila sekolah tersebut tidak berkompeten mengapa diberi “A”, jika itu bukan salah satu bukti kekompetenan suatu sekolah jangan dilakukan lagi, buang-buang dana..haha.

        • Guh says :

          1. Belum. Yang saya kuatirkan bukan ketidaklulusan, tapi efek doktrinasi agama pada anak dibawah umur. Trauma-trauma pada pikiran anak itu efeknya dalam sekali, sulit disembuhkan dan terbawa sampai usia lanjut. Pertanyaan iseng itu karena khawatir nanti setelah besar anak-anak bisa seperti kakak-kakanya di sini: http://www.dailymail.co.uk/news/article-2066795/Muslim-students-walking-lectures-Darwinism-clashes-Koran.html

          2. Oh, baiklah. Maaf kalau begitu :) Pemerintah kita memang terbukti sangat kompeten dalam banyak hal dan mereka juga terkenal tidak suka membuang-buang dana.

          • Ardi says :

            sip mas..saya mau memberi saran, sebaiknya dalam menulis suatu pernyataan harus diberi dengan alasan yang logis dan jelas, yang tidak perlu-perlu tidak usah ditulis, Thx :)
            nice article… Thx for sharing…:)

          • Guh says :

            @Ardi, terima kasih. semua yang saya tulis memang saya anggap perlu untuk ditulis :)

  8. apri says :

    Yg jadi korban tetap ank. Kalaupun dia diterima di sekolah lain. Itu mungkin (hanya probabiliti) ketakutan sekolah lain diblow-up, dihancurkan secara bisnis oleh pemberitaan ini jika menolak ank tsb…

    • Guh says :

      Saya rasa tidak akan hancur.

      Kalau dilihat dari tema sekolah yang religius, ditambah kondisi masyarakat kita yang masih mendukung diskriminasi terhadap penderita HIV, sekolah seperti itu akan tetap ramai peminat. Walaupun setelah memecat seorang Immi.

      Immi tetap jadi korban, bener banget. Perlu mulai dipikirkan bagaimana solusi untuk anak-anak lain yang seperti Immi.

  9. shar says :

    menurut saya: 1) seharusnya jika sakit tidak usah di publikasikan apalagi via internet. lbih baik untuk masalah pribadi saja.
    2) cara penyampaian maaf lewat sms yg sangat salah
    3) dua-duanya salah.
    4) berdamai saja ^^v

    • Guh says :

      @Shar,
      1. Setuju. Tapi si ayah mempublikasikan setelah terjadi pemecatan terhadap Immi. Sebelumnya dia hanya memberitahu pihak sekolah saja. Setidaknya itu yang saya tangkap dari media.
      4. Amin.

  10. netral says :

    Untuk informasi saja : sekolah don bsoco memang mempunyai tradisi mengadakan misa bersama untuk pemberkatan sebelum ulangan umum . Dan akan sangat kami hargai (murid-murid smp dan sma don bosco klp gdng) jika media massa menegaskan bahwa yang bermasalah itu adalah SD donbosco1 . Karena banyak media hanya menyebutkan nama don bosco saja tanpa penegasan jenjang yang jelas . Full support untuk pak jasmin dan immi . GBU and Fam pak :)

  11. Richard Siahaan. says :

    Saya punya beberapa pendapat. Saya anak 14 tahun masih smp kelas 3 yang mengikuti kasus ini dan bersekolah di SMP Tarakanita Rawamangun.

    1) Permintaan maaf dari SD DB 1 jelas salah bila lewat sms.
    2) Wajar jika ortu murid takut anaknya tertular. Bagaimana jika anak anda bersekolah disitu?
    3) Kalau seandainya MEMANG Immi tidak tertular HIV/AIDS mengapa orangtuanya menolak untuk memberikan hasil tes kesehatan? memang menganggap itu diskriminasi atau takut karena anaknya juga positif HIV?
    4) Itu adalah karma bagi ayahnya yang terkena HIV. kenapa saya bilang karma? kalau kita lihat dari biodata istrinya di twitter di kalimat terakhir dia bilang “a wife of a DEATH – CHEATER” berarti kemungkinan besar dia berganti pasangan.
    5) Apakah kalau anaknya diterima di SD ini dia akan mempunyai teman yang banyak dan dapat bergaul? saya rasa tidak. apakah itu akan lebih mengdiskriminasi?

    Intinya saya merasa kalau anak saya sekolah disitu atau saya mempunyai sekolah itu mungkin saya juga akan melakukan hal yang sama dengan SD ini. Namun tidak dengan cara yang sama yaitu mengeluarkannya lewat SMS. Well, itu pendapat saya. Setiap orang berhak berpendapat bukan? Walaupun saya masih 14 tahun dan belum tau apa – apa saya siap menjawab pertanyaan2 tentang pendapat saya. Terimakasih and God Bless.

    • Guh says :

      @Richard Siahaan,
      1. Salah kan menurut tradisi kita, entah menurut tradisi SD DB 1 :P Beda tempat beda budaya. Konon begitu.

      2. Betul, sebagaimana saya paparkan juga di blog di atas. Ditambah berbagai mitos dan ignorance, ketakutan akan semakin menjadi-jadi. Mungkin baca-baca link dari Danny soal mitos HIV bisa sedikit mengurangi ketakutan:
      http://www.aidsindonesia.or.id/dasar-hiv-aids/mitos

      3. Wah, prasangka menarik. Walau beberapa media dengan meyakinkan bilang kalau Immi bersih dari HIV… Mungkin perlu dikonfirmasi langsung ke pihak terkait.

      4. Soal “Death Cheater” mungkin sebaiknya baca ini dulu: https://en.wikipedia.org/wiki/Cheating_death

      Soal karma, itu memang istilah yang sangat menyenangkan itu. Dengan memvonis “itu karmanya dia” maka kita bisa menimpakan seluruh kesalahan pada korban. Kita bisa bernapas lega karena tak perlu lagi repot mikir rumit-rumit. Tapi sepertinya tidak bagus kalau kita pakai sering-sering.

      5. Kemungkinan besar tidak. Apalagi kalau teman-temannya mendapat petunjuk dari orang tuanya masing-masing untuk menjauhi Immi. Sebaiknya memang Immi tidak nekat sekolah di situ.

    • @ardcreated says :

      Berarti bener mutu pendidikan sekarang sampah… No wonder lah.. Re: death cheater

    • dewi yullyanti says :

      Mas Richard,
      Lain kali cari tau dulu ya mas Death Cheater artinya apa…
      Baca – baca yang banyak dulu lah..

    • danny says :

      @Richard Siahaan,
      1. Setuju banget… :)
      2. Awalnya saya jg punya pemikiran yang sama, tapi kemudian saya disadarkan bahwa HIV itu tidak segampang itu menular .. intinya kalau anak dan istri beliau yang tinggal serumah aja gak kena kenapa saya harus takut kena (lihat point 3) :P
      3. Setau saya fajar dengan lantang bilang immi tidak terinfeksi.. dan saya yakin sekali beliau sudah test (logika aja kalau saya terinfeksi HIV, otomatis saya gak mau Anak dan Istri saya kena jg dong). Dan ada baiknya kita tinjau jg latar belakang Fajar yang telah mengalami deskriminasi ini bertahun2, kehilangan teman dan pekerjaan etc, Saya rasa beliau sedang berjuang untuk anak2 yang terinfeksi agar dapat sekolah jg :)
      4. Soal Karma : Apakah anda sendiri bisa memilih orang tua anda waktu dilahirkan.. karena itulah kenapa akhirnya timbul DESKRIMINASI :P
      5. Kalau soal teman saya rasa kembali ke anaknya kalau anaknya kuper yah susah dapet teman :P, kalau masalah deskriminasi itu kan dia sendiri dijauhi karena virus .. nah memang itu hanya bisa dilakukan dengan mengubah mindset orang2 tentang HIV sendiri.. untuk itu butuh bantuan dr Pemerintah jg untuk lebih gencar melakukan sosialisasi.

      “Jauhkan penyakitnya bukan orangnya “

  12. Adrian says :

    buat mas richard siahaan. rasanya death cheater disini maksudnya orang yg mengelabui kematian. penyandang HIV yg terus berobat: death cheater karena dia tahu dia akan mati dengan cepat, tapi dia dapat menundanya dengan meminum obat. ada baiknya mas buka kamus dulu atau setidaknya baca2x dulu apa artinya. sebelum mas menentukan dia kena karma atau semacamnya. terima kasih.

  13. tiara says :

    Saya mengikuti permasalahan (timeline) Pak Fajar sejak beliau pertama mem-posting status di twitter mengenai diskriminasi ini.

    Yg tersirat di pikiran saya, mengapa Pak Fajar tdk memberikan hasil test kesehatan Immi adalah karena beliau merasa anaknya telah mengalami diskriminasi dgn diduga mengidap HIV karena ayahnya HIV. Menurut sy itu wajar. Bagi penderita HIV pastilah hal itu sangat sensitif.

    Begitu pula dgn orang tua murid, yg mungkin kurang kritis dan tidak mencari tau terlebih dahulu mengenai HIV dan penularannya, pasti mereka panik dan “membuang” Immi untuk menjaga anak mereka.

    Solusi yg bisa diajukan mungkin:
    1. Pihak sekolah yg sudah jelas memiliki beberapa kesalahan meminta maaf melalui media, sesuai syarat Pak Fajar
    2. Apabila sekolah sudah melakukannya, Pak Fajar menghentikan aksinya dan berdamai
    3. Kasus ini sudah mengangkat nama Immi, ada baiknya tdk disekolahkan di sekolah biasa, mungkin dpt mencoba home schooling. Bukan diskriminasi, hanya saja melindungi anak tersebut dari bullying.
    4. Perlulah adanya penyuluhan, setidaknya di sekolah2 mengenai seluk beluk HIV/AIDS. Setidaknya 1 orang anak dpt menjelaskan kpd 2 ortunya atau bahkan kerabat2nya agar tdk ada lg org berpengetahuan kurang yg bertindak berdasarkan pemikiran dangkal.

    Sy sgt prihatin dan terkadang “greget” terhadap komentar2 negatif yg bukan berupa saran atau kritik yg membangun, melainkan menjatuhkan. Pemerintah seharusnya sadar, begitu banyak otak yg harus dikembangkan agar dpt menanggapi permasalahan dgn pemikiran matang. Mungkin salah satunya adalah saya. Hehehehe.

    Nice article anyway.. Thx for sharing :)

  14. Danny says :

    Untuk penulis : saya suka bgt sama artikel ini, sampai saya kasih link dr fb saya… Lucu tapi mengena..

    Saya sendiri berterima kasih pd om fajar, dgn di blow upnya kasus ini setidak2nya mengubah mindset banyak orang termasuk saya :)
    Dan yg pasti nantinya banyak pihak yg instropeksi tentang diskriminasi ini, termasuk rumah sakit yg masih menolak pasien2 yg mengidap virus hiv.

  15. dodo says :

    Yang saya tahu beberapa daerah (sulsel n papua) di Indonesia sudah memasukkan pengatahuan tentang Napza dan HIV/AIDS ke dalam kurikulum SD melalui muatan lokal

    Barangkali memang harus dinasionalkan

    Link terkait

    HIV-AIDS dan Napza Bakal Masuk Kurikulum Muatal Lokal SD, SMP dan SMA Sulsel


    http://www.voanews.com/indonesian/news/HIVAIDS-Masuk-Kurikulum-di-Papua—-117677268.html

  16. dodo says :

    haduh, akismet ya

  17. Putri Puspitaningrum says :

    Syukur deh Immi bisa keterima sekolah SD disana :) semoga mendapat kondisi yang kondusif juga. AIDS tidak menular semudah itu, apalagi anak SD masih jauh dari kata Freesex. Perlu diperhatikan juga, Immi kan belum tentu ODHA, tidak adil kalau dia kena juga. back to hak anak, hak pendidikan, dan hak untuk tidak mendapat diskriminasi ^_^

  18. Steffi Surya Jaya says :

    Mba jangan egois. Jujur, itu bukan diskriminasi. Kalau diskriminasi itu diperlakukan dengan tdk wajar & tdk baik. Sekolah berhak menolak siswa. Apalagi kalau ada penolakan dr beberapa org tua siswa/i.. Drpd rusuh, mending cari lagi sekolah yg mau nerima. Saya yakin ada kok.

Trackbacks / Pingbacks

  1. Sekolah Juga Hak Anak yang Hidup dengan HIV | ODHA Berhak Sehat - April 16, 2015

Tinggalkan komentar